Sekitar 4.000 orang yang mengidap HIV/AIDS (ODHA) memprotes keberadaan Jaringan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), yang mendiskriminasikan HIV/AIDS dalam fasilitas kesehatan gratis. Kesehatan gratis itu telah dilaksanakan per 1 Januari 2010 lalu.
Direktur Yayasan Bali Plus, Putu Utami mengatakan bahwa sebagian besar ODHA yang menjadi pendampingannya adalah kalangan ibu rumah tangga, anak-anak, serta bayi yang tertular HIV.
"Mereka adalah penderita yang tidak berdosa dan kini jumlahnya di Bali sangat banyak sehingga membutuhkan akses kesehatan," jelas Utami, Jumat, 8 Januari 2010.
Dampak penyakit mematikan ini terhadap masyarakat miskin semakin besar. Pelayanan kesehatan sangat penting bagi penderita karena jika mengalami infeksi oportunistik seperti diare, penyakit kulit, dan lain-lain yang berakibat sistem ketahanan tubuhnya berkurang.
Ditambahkan pendiri Yayasan Kerthi Praja (YKP), Prof dr Dewa Nyoman Wirawan menyesalkan pengobatan HIV/AIDS tidak masuk dalam tanggungan. "Ini bisa jadi preseden buruk bagi Bali di dunia internasional," keluhnya.
Tentu saja, program JKBM yang tidak memasukkan HIV/AIDS masuk dalam layanan JKBM bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS.
Misalnya dalam pasal 14 dan 16. Pasal 16 berbunyi Pemerintah Provinsi menyediakan sarana dan prasarana pendukung pengobatan, pengadaan obat anti retro viral, anti infeksi oportunistik, dan ibat infeksi menular seksual (IMS). Ketersediaan sarana dan prasarana harus bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (ayat 2).
Dalam Surat Edaran soal JKBM, pelayanan kesehatan gratis yang tertanggung terbatas. Sementara yang dikecualikan sangat banyak. JKBM ini tak menanggung ambulans, transportasi, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, kemoterapi, imunisasi non dasar, kecanduan narkoba, dan pengidap HIV/AIDS. Selain itu juga tak menanggung sakit karena upaya bunuh diri, sirkumsisi, serta cacat bawaan.
Yang tertanggung hanya warga dengan KTP Bali, membawa kartu keluarga dan surat rujukan dari rumah sakit daerah atau puskesmas jika datang ke RS Sanglah Denpasar sebagai pusat rujukan. Selain itu surat dari kepala desa atau lurah bahwa warga tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan lain. JKBM menanggung biaya untuk perawatan kelas terendah di rumah sakit, yakni kelas III.
Menurut Prof Wirawan, kalau biaya premi yang dipakai argumentasi, biaya di ICU akan jauh lebih besar dibanding kemoterapi. Premi untuk sirkumsisi juga amat murah dan sirkumsisi bisa mencegah banyak penyakit seperti kanker dan juga HIV/AIDS.
Kalau perilaku yang dipakai argumentasi, banyak sekali penyakit lain karena perilaku seperti IMS, hepatitis B, C, kanker karena perilaku merokok, diare, dan lainnya.
Dari data RS Sanglah, sekitar 80% ODHA yang dirawat di RS Sanglah tergolong miskin dan menggunakan Jamkesmas, SKTM, atau masuk kategori terlantar.
Tahun 2009 hingga akhir September, jumlah Odha yang dirawat inap di Sanglah sebanyak 387 orang dari 937 yang melakukan kunjungan. Dari jumlah itu, 64 Odha meninggal karena datang pada kondisi stadium AIDS akut.
Sementara jumlah ODHA ibu rumah tangga sekitar 150 orang dari berbagai kabupaten di Bali. Sebagian orang tua dengan HIV sudah meninggal sehingga terdapat lebih dari 70 orang anak yatim piatu. Sedikitnya hingga kini tercatat 50 bayi positif HIV, dan sebagiannya sudah meninggal.
ODHA, pendamping, dan dokter berencana melakukan dengan pendapat ke DPRD Bali untuk menyampaikan permohonan revisi ini.[vvn]
Post a Comment