Presiden Thein Sein menetapkan keadaan darurat Minggu (10/06). Beberapa laporan menyebutkan kerusuhan itu pecah hari Jumat di kota Maungdaw dan menyebar ke kota Sittwe dan desa-desa di sekitar.
"Asap mengepul dari banyak arah. Kami ketakutan," kata Ma Thein, warga Rakhine di Sittwe, kepada kantor berita Associated Press.Dilansir oleh Al Jazeera,
Sementara itu, penduduk Muslim yang banyak terdapat di kota Maungdaw, mengungsi ke pos-pos polisi terdekat, seiring dengan pemberlakuan jam malam di daerah itu.
Seorang jurufoto Associated Press di Sittwe mengaku melihat banyak rumah terbakar di distrik Mi Zan.
Toko-toko, sekolah dan bank, serta pasar besar Sittwe tutup. Sejumlah orang Rakhine terlihat berdiri di depan rumah-rumah mereka dengan membawa pedang buatan sendiri, atau mengendarai sepeda motor.
“Kami belum tidur selama lima hari,” kata Ma Ohn May, penduduk Sittwe pemilik toko kain berusia 42 tahun.
Tentara ikut diterjunkan di kota Maungdaw dan Buthidaung untuk membantu polisi.
Aksi pembakaran rumah dan kekerasan yang berlangsung sejak hari Jumat lalu sedikitnya sudah mengambil nyawa tujuh orang dan menghanguskan ratusan rumah.
Ketegangan itu merupakan lanjutan dari peristiwa pembantaian 10 warga Muslim Myanmar oleh warga Budha di Rakhine.
Pada hari Ahad pagi ( 3/6/2012), Persatuan Patriotik Rakhine membagikan selebaran di kota Taunggup, yang berisi berisi foto wanita Budha bernama Ma Thida Htwe dan cerita tentang pemerkosaan yang dialaminya tanggal 28 Mei lalu Dalam selebaran itu mereka menuduh warga Muslim sebagai pelaku pemerkosaan dan pembunhan atas wanita tersebut.lapor koran The New Light of Myanmar (5/6/2012). Taunggup adalah sebuah kota pinggiran pantai di negara bagian Rakhine, sekitar 200 kilometer arah barat Yangon.
Disulut oleh selebaran itu, sekelompok massa terdiri dari sekitar 300 orang menyerang sebuah bis yang mengangkut penumpang Muslim dekat Thandwe di jalan menuju Yangon. Ratusan orang itu membunuh 10 Muslim Myanmar dan menghancurkan kendaraan yang mereka tumpangi, kata jurubicara pemerintah.
“Para korban diserang saat dalam perjalanan pulang dari Thandwe untuk tujuan ibadah,” tulis koran Myanmar tersebut.
Al Jazeera melaporkan, akibat ketegangan yang terus berlanjut itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut mengevakuasi 44 pekerjanya, serta keluarga mereka, dari markas yang ada di Maungdaw negara bagian Rakhine, kata koordinator bantuan kemanusiaan PBB di Yangon, Ashok Nigam.
Tidak bisa menyelamatkan diri
AFP melaporkan, petugas perbatasan Bangladesh mengusir balik delapan perahu yang mengangkut sekitar 300 Muslim Rohingya –kebanyakan perempuan dan anak-anak– yang berusaha menyelamatkan diri.
“Ada lebih dari 300 Rohingya di perahu-perahu yang datang dari kota Akyab (Sittwe) Myanmar. Penumpangnya sebagian besar perempuan dan anak-anak, yang kebanyakan menangis dan kelihatan sangat ketakutan,” kata Shafiqur Rahman, seorang penjaga perbatasan Bangladesh berpangkat mayor kepada AFP.
“Kesemua delapan perahu itu didorong kembali ke wilayah Myanmar,” imbuhnya.
“Keadaannya seperti kotak sumbu,” kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch wilayah Asia. “Orang-orang itu merasa seperti terjebak dalam sebuah kotak, dikelilingi musuh, dan tingkat frustasinya sangat tinggi.”
Minoritas Muslim tidak diakui
Warga Muslim adalah kelompok minoritas di negara Myanmar (dulu bernama Burma/Birma), yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Negara bagian Rakhine berbatasan dengan Bangladesh, sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Penduduk Muslim di Myanmar kebanyakan keturunan etnis minoritas Bengali, yang kemudian biasa disebut sebagai suku Rohingya.
Muslim Rohingya dianggap pemerintah Myanmar sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Pemerintah tidak mengakui mereka secara resmi sebagai etnis minoritas bagian dari negara Myanmar.
Padahal, sebagian dari orang Rohingya sekarang merupakan keturunan dari orang Rohingya yang sudah menetap di Myanmar selama berabad-abad.
Pemerintah Myanmar bersikukuh menyatakan orang Rohingya tidak punya negara.
Kelompok-kelompok pemerhati hak asasi manusia mengatakan bahwa orang Rohingya sudah sejak lama mengalami diskriminasi.
Badan pengungsi PBB memperkirakan, terdapat sekitar 800.000 orang Rohingya di tiga distrik di Rakhine.
Pada hari Ahad (10/6/2012) di Yangon, sekitar 600 orang Rakhine berkumpul di tempat suci Budha di Pagoda Shwedagon, menuntut “orang-orang Bengali” (Rohingya) agar “diusir dari Myanmar.”
Jumlah kasus kekerasan yang dialami Muslim Myanmar diyakini banyak yang tidak dilaporkan media, terutama oleh media pemerintah. Di bawah penguasa militer sebelumnya, peristiwa pembantaian semacam itu biasanya dibiarkan begitu saja tanpa ada pemberitaan dan hanya mendapat perhatian sebentar.*
"Asap mengepul dari banyak arah. Kami ketakutan," kata Ma Thein, warga Rakhine di Sittwe, kepada kantor berita Associated Press.Dilansir oleh Al Jazeera,
Sementara itu, penduduk Muslim yang banyak terdapat di kota Maungdaw, mengungsi ke pos-pos polisi terdekat, seiring dengan pemberlakuan jam malam di daerah itu.
Seorang jurufoto Associated Press di Sittwe mengaku melihat banyak rumah terbakar di distrik Mi Zan.
Toko-toko, sekolah dan bank, serta pasar besar Sittwe tutup. Sejumlah orang Rakhine terlihat berdiri di depan rumah-rumah mereka dengan membawa pedang buatan sendiri, atau mengendarai sepeda motor.
“Kami belum tidur selama lima hari,” kata Ma Ohn May, penduduk Sittwe pemilik toko kain berusia 42 tahun.
Tentara ikut diterjunkan di kota Maungdaw dan Buthidaung untuk membantu polisi.
pasukan pemerintah, Senin (11/6/2012) terlihat mengumpulka mayat-mayat dari puing-puing rumah yang hangus terbakar pada akhir pekan. Sementara penduduk yang ketakutan berlindung di rumah-rumah mereka.
Polisi di ibukota Sittwe, mengumpulkan empat mayat, salah satunya perempuan yang diduga dari etnis Rakhine yang mengampung di sungai. Tiga orang lainnya terbungkus selimut, namun tidak diketahui identitasnya.
Polisi mengevakuasi dua keluarga Muslim dari kawasan yang sama, karena rumah mereka berada di antara rumah-rumah penduduk Rakhine yang didominasi warga Budha. Daerah itu merupakan tempat tinggal kelompok minoritas Muslim yang dikenal sebagai orang Rohingya.
Aksi pembakaran rumah dan kekerasan yang berlangsung sejak hari Jumat lalu sedikitnya sudah mengambil nyawa tujuh orang dan menghanguskan ratusan rumah.
Ketegangan itu merupakan lanjutan dari peristiwa pembantaian 10 warga Muslim Myanmar oleh warga Budha di Rakhine.
Pada hari Ahad pagi ( 3/6/2012), Persatuan Patriotik Rakhine membagikan selebaran di kota Taunggup, yang berisi berisi foto wanita Budha bernama Ma Thida Htwe dan cerita tentang pemerkosaan yang dialaminya tanggal 28 Mei lalu Dalam selebaran itu mereka menuduh warga Muslim sebagai pelaku pemerkosaan dan pembunhan atas wanita tersebut.lapor koran The New Light of Myanmar (5/6/2012). Taunggup adalah sebuah kota pinggiran pantai di negara bagian Rakhine, sekitar 200 kilometer arah barat Yangon.
Disulut oleh selebaran itu, sekelompok massa terdiri dari sekitar 300 orang menyerang sebuah bis yang mengangkut penumpang Muslim dekat Thandwe di jalan menuju Yangon. Ratusan orang itu membunuh 10 Muslim Myanmar dan menghancurkan kendaraan yang mereka tumpangi, kata jurubicara pemerintah.
“Para korban diserang saat dalam perjalanan pulang dari Thandwe untuk tujuan ibadah,” tulis koran Myanmar tersebut.
Al Jazeera melaporkan, akibat ketegangan yang terus berlanjut itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut mengevakuasi 44 pekerjanya, serta keluarga mereka, dari markas yang ada di Maungdaw negara bagian Rakhine, kata koordinator bantuan kemanusiaan PBB di Yangon, Ashok Nigam.
Tidak bisa menyelamatkan diri
AFP melaporkan, petugas perbatasan Bangladesh mengusir balik delapan perahu yang mengangkut sekitar 300 Muslim Rohingya –kebanyakan perempuan dan anak-anak– yang berusaha menyelamatkan diri.
“Ada lebih dari 300 Rohingya di perahu-perahu yang datang dari kota Akyab (Sittwe) Myanmar. Penumpangnya sebagian besar perempuan dan anak-anak, yang kebanyakan menangis dan kelihatan sangat ketakutan,” kata Shafiqur Rahman, seorang penjaga perbatasan Bangladesh berpangkat mayor kepada AFP.
“Kesemua delapan perahu itu didorong kembali ke wilayah Myanmar,” imbuhnya.
“Keadaannya seperti kotak sumbu,” kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch wilayah Asia. “Orang-orang itu merasa seperti terjebak dalam sebuah kotak, dikelilingi musuh, dan tingkat frustasinya sangat tinggi.”
Minoritas Muslim tidak diakui
Warga Muslim adalah kelompok minoritas di negara Myanmar (dulu bernama Burma/Birma), yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Negara bagian Rakhine berbatasan dengan Bangladesh, sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Penduduk Muslim di Myanmar kebanyakan keturunan etnis minoritas Bengali, yang kemudian biasa disebut sebagai suku Rohingya.
Muslim Rohingya dianggap pemerintah Myanmar sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Pemerintah tidak mengakui mereka secara resmi sebagai etnis minoritas bagian dari negara Myanmar.
Padahal, sebagian dari orang Rohingya sekarang merupakan keturunan dari orang Rohingya yang sudah menetap di Myanmar selama berabad-abad.
Pemerintah Myanmar bersikukuh menyatakan orang Rohingya tidak punya negara.
Kelompok-kelompok pemerhati hak asasi manusia mengatakan bahwa orang Rohingya sudah sejak lama mengalami diskriminasi.
Badan pengungsi PBB memperkirakan, terdapat sekitar 800.000 orang Rohingya di tiga distrik di Rakhine.
Pada hari Ahad (10/6/2012) di Yangon, sekitar 600 orang Rakhine berkumpul di tempat suci Budha di Pagoda Shwedagon, menuntut “orang-orang Bengali” (Rohingya) agar “diusir dari Myanmar.”
Jumlah kasus kekerasan yang dialami Muslim Myanmar diyakini banyak yang tidak dilaporkan media, terutama oleh media pemerintah. Di bawah penguasa militer sebelumnya, peristiwa pembantaian semacam itu biasanya dibiarkan begitu saja tanpa ada pemberitaan dan hanya mendapat perhatian sebentar.*
Post a Comment