Home » » Mengenang Almarhum Ahmad Sumargono

Mengenang Almarhum Ahmad Sumargono

Written By admin on Monday, February 27, 2012 | 9:44 PM


Ahmad Sumargono , lebih popular disebut Gogon- lahir di Jakarta, 1 Februari, 1943, dari pasangan R.Sumantri dan R.R. Sumariah ,meninggal dunia, Jumat (24/2/2012) dini hari  di Sukabumi, Jawa Barat.

Masa Kanak kanak Dan Masa Remaja 
 Sebenarnya bukan anak Betawi asli melainkan dari 'Wetan' yaitu berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, namun karena dibesarkan di lingkungan masyarakat Betawi di Petojo, Jakarta Pusat maka bukan saja gaya bicaranya ala Betawi, lebih dari itu ia sangat terpengaruh oleh kebiasaan orang Betawi. Jadi secara geneologis Jawa tetapi secara kultural ia telah di ?Betawikan.? Ia anak ke 5 dari 7 bersaudara, yang terdiri dari 4 laki-laki dan 3 perempuan. Ayahnya telah wafat saat Gogon masih kecil. Dari tujuh bersaudara Gogon termasuk anak yang beruntung, karena hanya dia satu-satunya yang berkesempatan mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dan menyandang gelar kesarjanaan bahkan saat ini sedang menyelesaikan tesis untuk meraih Magister Manajemen di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Di usia tiga tahun, ia ditinggal wafat ayahnya, lalu dibesarkan oleh kehidupan yang penuh keprihatinan. Tak lama kemudian, ia diasuh oleh bibinya, Supartinah dan pamannya Mohammad Arup, orang Betawi di kawasan Petojo, Jakarta Pusat. Arup bekerja di Departemen Keuangan dan belum memiliki anak. Allah maha mengetahui harapan hambanya ini. Hamba yang selalu berdoa memohon kehadiran seorang anak do?anya dikabulkan Tuhan. Rupanya, kehadiran Gogon dalam rumah pamannya 'memancing' bibinya untuk memiliki anak. Maka, baru setahun setelah Gogon tinggal bersama keluarga pamannya itu, Alllah pun menganugrahi keluarga Arup seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Bambang Sukamto.
Keluarga Arup bukanlah keluarga yang penuh kemewahan material. Sangat Sederhana. Di tengah-tengah keluarga sederhana dan jauh dari cara hidup yang hura-hura, Gogon tumbuh dan berkembang. Mengenai pengalamannya hidup bersama keluarga pamannya itu, Gogon mengungkapkan bahwa sebagai anak ?angkat? tentu secara psikologis berada posisi yang berbeda dengan misannya itu, ?mungkin? ia mesti menyadari, bagaimana memposisikan diri di tengah orang tua angkatnya itu, apalagi ayah angkatya itu, sangat ?keras? dalam mendidik anak. Saya tak punya jas, sehingga tak pernah pergi ke pesta, ia lebih banyak mengaji di Masjid, dengan ilmu agama Islam tradisional. Gogon, mengenyam pendidikan dimulai di Sekolah Rakyat (SR) Petojo Udik, Jakarta yang diselesaikan tahun 1956, kemudian ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta AMPRI di Jakarta yang diselesaikannya tahun 1960.

Dalam masa remajanya, selain mengaji ia pernah belajar ilmu kanuragan [2] dan belajar pencak silat yang dilakukan usai jam pelajaran sekolah. Memang dalam kehidupan masyarakat Betawi menurutnya hanya ada dua; kalau tidak pergi ke masjid atau mengaji, belajar silat. tidak ada pilihan lain. 'Ngaji' dan 'main Pukulan' dua tradisi yang 'harus' dilaluinya sebagaimana anak Betawi umumya. Sampai ia menginjak dewasa minat Gogon terhadap ilmu bela diri makin besar. Ia tak ragu menelusuri berbagai kampung di daerah Banten untuk berguru ilmu kebal. Akan tetapi setelah cukup lama mempelajari ilmu itu, Gogon pun merasakan sesuatu yag tidak beres. Ia merasa mempelajari ilmu kanuragan sia-sia dan menjauhkan dirinya dari Tuhan. Segera saja ia meninggalkan ilmu tersebut. Kehidupan masa itu disebutnya sebagai masa ?zaman jahiliyah, belum kenal Tuhan.


Gogon ingin mencari sebuah kehidupan baru yang diwarnai oleh kedekatannya kepadaTuhan. Ia berhasil menemukannya. Masa beranjak dewasa dan perantauan pemikiran dan mental membuatnya menemukan suasana kebatinan dan religius yang lebih dalam, Gogon mulai banyak merenung dan menyendiri ?mencari? makna hidup dan kehidupan yang lebih dalam dari itu. Ia pun menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMU) dari Sekolah Menengah Atas Negeri X pada tahun 1963. Waktu itu merupakan masa dimana ia mulai aktif beribadat seperti puasa Senin-Kamis, Sholat Tahajud, mengikuti pengajian yang khusus dan umum.

Di masa Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, ia mulai berkecimpung dalam dunia organisasi pemuda lokal, yaitu aktifitas pemuda antar Rukun Warga (RW) sekawasan Petojo Selatan. Ia mengkoordinir uang hasil pendapatan para penjual Koran dan majalah. Di sini, nampak naluri berorganisasi dan bisnisnya mulai muncul. Dan hal itu datang secara alami, tidak dibuat-buat. Ia pun belajar mengaji secara khusus dengan guru ngaji yang bernama Engkong Sanen. Dari sini Gogon mulai banyak 'bergaul' dengan kalangan yang usianya jauh di atasnya (para orang tua). Ia pun dipercaya untuk menjadi Imam sholat berjamaah di lingkungan tempat tinggalnya, sambil juga belajar ilmu qiroah dengan Ustad Kholili dari Banten. Ustad Kholili murid dari Kiai ternama di Banten yaitu Kiai Ma?mun. Gogon sempat di gurah semata untuk dapat membaca Al Qur?an dengan cara baca yang indah.

Pada masa ini ia mulai mengenal apa yang disebut partai politik yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Ia pun sangat mengagumi Soekarno dan Marhenismenya, dalam perspektif sejarah politik di Indonesia. Saat itu memang banyak pemuda yang terpikat dengan gaya pidato pemimpin besar revolusi Indonesia yang memukau dan penuh retorika, dan ini diakui oleh masyarakat Internasional. Sebaliknya Gogon belum banyak tahu mengenai Partai Masyumi serta tokoh-tokohnya, tidak sulit bila kita mengkaji, kenapa demikian. Hal ini disebabkan karena lingkungan sosial dan keagamaan tempat Gogon berinteraksi dan bergaul, berada di lingkungan masyarakat Jakarta yang tradisional baik dalam pandangan pemahaman agama maupun ?dunia? politik masih sangat terbatas. Apa lagi orang tua angkatnya berlatar belakang abangan dalam penerapan pemahaman agama.

MASA KEMAHASISWAAN
 
Usai Gogon menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMU), minatnya mulai berubah menjelang menjadi mahasiswa ditahun 1963. Ia sempat tertarik ajaran Marhaen, dan ia nyaris menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kalau saja kantor GMNI di Pegangsaan tidak tutup. Waktu itu mengikuti kuliah di dua Universitas dengan fakultas yang sama yaitu ekonomi. Gogon kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan Universitas Indonesia (UI) tahun 1963, dan ini dilakukan dengan pertimbangannya, karena ada kekhawatiran bila tidak diterima di perguruan tinggi negeri yang bergengsi itu ia tetap dapat berkuliah, semacam serep. Di UKI hanya sempat kuliah 1 semester, selebihnya ia mengikuti pendidikan tinggi itu di Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta sampai tamat.

Namun, ia kemudian berubah pikiran, dalam memandang wacana politik yang selama ini dipahaminya. Ketika kantor GMNI itu sedang tutup, ia sempat ?digarap? kangan senior mahasiswa Universitas Indonesia yang mereka telah bergabung dalam aktivitas organisasi ekstra mahasiswa yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan ini terjadi saat masa perpeloncoan. Dari dunia kemahasiswaan di HMI ini ia mulai berkenalan dengan seniornya diantaranya Firdaus Wajdi, Eky Sahruddin, Fahmi Idris, Mar?i Muhammad, juga tokoh dan senior HMI yang rajin memberikan kursus-kursus politik yaitu almarhum Bapak Dahlan Ranuwihardjo. Dari sinilah, Gogon mengalami babak baru dalam pemahamannya terhadap Islam, teologis-ubudiah, kini meluas kepada pemahaman Islam Ideologis-amaliah al muamalah, atau istilah penulis pemahaman holistic Islam. Aktivitas di lingkungan HMI pada masa itu lebih kepada social action. Ini lebih banyak bukan didalam kampus, Gogon bergabung dengan HMI rayon Petojo, Grogol, dan Tomang (PGT). Gogon telah masuk dalam perjuangan Islam secara ideologis, ia memiliki kawan dekatnya yaitu Ridwan Saidi dan Mar?i Muhammad, para aktivis HMI dari kampus UI, dan ketiga orang ini dikenal dengan ?Trio sekawan?. Ketiganya kemudian dipercayakan duduk di kepengurusan HMI pada tingkat pengurus besar di era kepemimpinan Sulartomo. Bedanya, kawan-kawan Gogon sempat menjabat pada tingkat teras kepemimpinan, sedangkan Gogon cukup di level departemen kader, mereka kenal sejak dimasa perpeloncoan itu.

"Awal mula saya belajar soal politik Indonesia dari sahabat saya Mar?i Muhammad, seorang mahasiswa, aktivis HMI keturunan Arab,? ujarnya. Darinya kemudian ia dikenalkan dengan tokoh mahasiswa tingkat nasional masa itu seperti David Napitupulu, Cosmas Batubara, Zamroni, Husni Tamrin yang dikenal kemudian sebagai tokoh mahasiswa angkatan ?66? dalam wajah pergulatan pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Kemudian Gogon melakukan pembinaan soal kepemimpinan, keorganisasian, keislaman dan masalah politik dengan belajar banyak pada Almarhum Mas Dahlan Ranuwihardjo SH, mantan Ketua PB HMI yang sangat mumpuni dan disegani. Gogon sempat tinggal di rumah Mas Dahlan selama tiga tahun mengenai Dahlan, Gogon berkomentar:

"Waktu itu Mas Dahlan memegang jabatan sebagai anggota DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), lembaga legislatif bentukan dari mantan Presiden Soekarno. Mas Dahlan sebagai senior HMI yang banyak menularkan pengetahuannya kepada saya dan teman-teman terutama menyangkut materi ideologi, kepemimpinan dan strategi dan taktik. Saya tidak hanya menyerap ilmu dari beliau, melainkan juga membantu pekerjaan sehari-hari beliau dalam, seperti mengetik surat dari berbagai aktivitas keorganisasiannya. Akan tetapi saya dekat bukan karena soal ketertarikan pada ajaran Soekarnoismenya, yang dalam hal ini Mas Dahlan cukup banyak pengetahuan tentang hal itu."

Perjalanan hidup seseorang, bukan garis linear. Ia terkadang jalan berkelok, bagai lurah (lembah) kehidupan penuh terjal dan pendakian. Kehidupan seseorang dapat pindah dari satu ruang kehidupan yang satu ke yang ruang lain dan itu kemudian membentuk karakter sejarahnya sendiri. Demikian Gogon, selain ditempa di HMI dan kampus UI Salemba, juga terbina dalam aktivisme pengajian asuhan ustadz Sobary. Ustad Mohammad Sobary, bukanlah orang yang baru dimata Gogon, sebenarnya mereka tinggal bertetangga, akan tetapi intimitas itu dimulai ketika keluarga Ustad Mohammad Sobary mengalami cobaan, istri beliau sakit, hingga kemudian dipanggil oleh Al Khalik. Dikemukakannya:

Saya kagum dengan Ustad Mohammad Sobary, ia menguasai ilmu agama yang luas, hafal Al Qur?an (hafiz) dan menguasai 4 bahasa yaitu Inggris, Perancis, Belanda dan bahasa Arab. Ia pernah tinggal di London-Inggris menyelesaikan pendidikan Masternya di bidang kepustakaan. Pengetahuannya diraih sebagian besar secara otodidak. Saya banyak berguru kepadanya.

Ustad Mohammad Sobary selain berpengetahuan sangat luas, sebagai kiai, kepribadiaanya juga sangat mengagumkan ia seorang dermawan, rasa solidernya tinggi terhadap siapapun termasuk Gogon. Kyai Sobari juga orang yang khusu? dalam sholatnya tidak jarang beliau menitikkan air matanya ketika sholat. Kekaguman dan kedekatan Gogon itu mengantarkannya aktif bersama-sama di organisasi Al-Irsyad. Kyai Sobary pernah menjabat sebagai Ketua Umum dan Gogon sebagai Sekretaris Umum diorganisasi tersebut, ini sekitar tahun 1980-an.

Awalnya Gogon turut membina akivitas masjid sebagai ketua remaja Masjid Nurul Ala Nurin di kawasan Petojo. Di sini Gogon dan kalangan remaja lainnya selalu mengadakan kegiatan pengajian-ceramah setiap hari Jum?at dan Ahad, atau dua kali dalam satu minggu. Gogon yang telah tertempa di organisasi HMI dan organisasi kampus, mampu memainkan peran kepemimpinannya di lingkungan tempat tinggalnya melalui lembaga masjid. Di Masjid ini ia sering mengundang tokoh-tokoh Islam, kalangan ulama maupun cendiekiawan, khususya dari kalangan Masyumi seperti Bapak DR. Mohammad Natsir, Prof. DR. Hamka, Buya Sutan Mansur, Buya Malik Ahmad, DR. Mahmudin Sudin dan banyak lainnya. Sosialisasi yang intens ini semakin mendekatkan cara berfikir dan berjuang sebagaimana kalangan tokoh Islam itu. Islam bagi Gogon telah menjadi pandangan dan cita cara berjuang hidup.

Perlu diketahui bahwa pada masa mahasiswa, untuk biaya kuliah Gogon berasal dari pamannya, sewaktu masih di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Masa dibangku kuliah juga telah terlibat dalam aktivitas keorganisasian mahasiswa untuk kegiatan dibidang mengelola lembaga pers Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan aktif di Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam sebagai staf Biro kader PB HMI. Namun seperti yang di akui Gogon, Ustad Mohammad Sobary memiliki andil yang besar dalam menghadapi tantangan hidup yang dihadapinya dikemudian hari.
 
Jadi Da'i dan Politisi

Ahmad Sumargono bukanlah sosok politisi dan dai yang muncul karena fasilitas yang didapat dari kebaikan atau belas kasihan orang lain. Ia juga bukan tipikal politisi yang tampil bak selebritis yang "dimanjakan" oleh publisitas agar namanya selalu "terjaga" dan "melambung" dengan segenap kosmetik politik yang penuh "cover", atau membutuhkan stamina permainan yang selalu menyiapkan citra diri (image) yang dibangun lewat jargon-jargon atau cerita mistik guna mengabsahkan kehebatan seorang tokoh.
Dalam buku Ahmad Sumargono, Dai & Aktifis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat, dijelaskan bahwa alumni UI yang akrab dipanggil Gogon ini adalah seorang anak bangsa sebagaimana aktivis lainnya yang lahir dari suatu pergulatan pemikiran dan aksi perjuangan sosial dari bawah.
Secara alamiah, ketika ia mulai menemukan pilihan "ideologi" perjuangan dan manakala sosialisasi yang secara intens diperolehnya, maka secara naluriah dan hikmah, mulailah ia terjun ke medan aktivitas di lingkungannya: mengorganisir remaja dan jamaah Masjid Nurun ala Nurin; belajar berorganisasi dari seniornya di kampus dan di HMI; mengikuti kursus politik dari Mas Dahlan; belajar agama dari Kiai Mohammad Sobari.
Ahmad Sumargono pun berinteraksi secara terus-menerus dengan tokoh politik dari kalangan Masyumi seperti Natsir, Buya Hamka, Buya Malik dan lainnya melalui ceramah-ceramah mereka.
Ditambah dengan buku-buku gerakan yang dibacanya, Gogon mulai menapak ke padang dakwah di belantara Jakarta pada era 1970-1980-an. Ia berceramah dari mushola ke mushola, dari halaqoh ke halaqoh di kampus-kampus, lingkungan remaja masjid dan aktivitas training yang dilakukan oleh ormas Islam. Nampaknya potensi dan talenta Gogon mulai tergosok untuk menjadi sosok figur yang dikenal. Sikap kritisnya menjadikan dirinya sebagai sasaran "tembak" di masa rezim Orde Baru, bahkan ia dicap sebagai orang "berbahaya" atau dangerous man.
Gogon tidak berhenti sampai di sini. Ia lalu bergabung dengan Korps Mubalig (KMJ) Jakarta pada 1980-an, sebuah organisasi dakwah yang menghimpun segenap dai yang kritis. Setelah Dalali Umar, ia kemudian menjadi ketua KMJ. Melalui KMJ ini, mulailah namanya dikenal, terutama di wilayah Jakarta, sebagai penceramah yang lugas dan keras tanpa kehilangan argumentasi dan fakta serta dengan cara yang tidak emosional.
Wilayah perhatian dakwahnya menjadi lebih luas ketika KISDI berdiri dan Gogon tampil sebagai ketua harian wadah tersebut. Kritikannya bertumpu pada kondisi umat Islam yang selalu dimarjinalkan dan dizalimi dalam kancah politik di satu sisi, serta gugatannya atas keadaan umat Islam di berbagai wilayah dunia yang mengalami penderitaan akibat hegemoni Barat terhadap dunia Islam di sisi lainnya.
Kasus bangsa Palestina, Kashmir, Moro, Patani, Afghanistan, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Aljazair, Turki dan Irak menjadi perhatian dari pernyataan-pernyataan dan pidato Gogon di tengah jamaah pengajian maupun kalangan pers.
Saat itulah ia mulai memasuki wilayah percaturan politik nasional dan mulai dikenal serta dekat dengan kalangan muda Islam yang selama 20 tahun berada dalam tekanan politik yang hebat dari pemerintah Orde Baru. Ia sering diminta berceramah dan memberikan kursus-kursus intensif soal agama yang dihubungkan dengan kemasyarakatan.
Kemauan yang kuat untuk mau turun membina anak-anak muda Islam mengingatkan penulis kepada sosok Mas Dahlan Ranuwihardjo. Apakah Gogon mengambil contoh darinya? Yang jelas ia pernah tinggal dengan Mas Dahlan selama tiga tahun.
Mas Dahlan merupakan salah satu contoh pejuang politik yang mau membina anak-anak muda secara intens, dinamis dan ikhlas melalui kursus-kursus politiknya. Ini juga mengingatkan penulis pada para tokoh besar dalam sejarah, seperti HOS Tjokroaminoto. Bukankah ia memiliki murid yang kemudian tercatat dalam sejarah besar bangsa: Soekarno, Kartosuwiryo dan Semaun. Atau Haji Agus Salim, yang melahirkan murid-muridnya seperti Mohammad Natsir, Soekiman, Mohammad Roem, Syamsurizal, yang sangat disegani. Demikian pula Mohammad Hatta dan Syahrir dengan kelompok studinya, dan pemimpin bangsa lainnya yang juga membina kadernya.
Gogon juga sangat dikenal kalangan muda dan aktivis. Rumahnya yang berada di kawasan Jakarta Timur, tepatnya di lintasan Jalan H. Baping, pada saat-saat tertentu sering dijubeli anak-anak muda serta tokoh dari berbagai lapisan dan wilayah, tidak terbatas dari Jakarta saja.
Di tempat ini secara khusus sering diadakan pelatihan, kursus keagamaan dan peningkatan wacana keumatan maupun politik. Selain itu, tempat ini juga menjadi markas untuk mengorganisir sebuah event seperti rapat akbar, aksi protes, demo, pernyataan pers sampai pada aktivitas yang bersifat membangun solidaritas serta aksi sosial.
Gogon bagai "bola bekel" politik, ia menukik ke bawah hingga ke tingkat massa dan menyentuh aspirasinya, lalu melambung lagi ke atas hingga akrab dengan kalangan elit politik lainnya.
Ia bergerak dinamis, lincah, karena tanggap terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa dengan memotivasi massa untuk mau peduli dalam menyuarakan keadilan dan kemerdekaan. Gogon pun menghimpun berbagai eksponen kekuatan umat melalui kegiatan silaturahmi secara kontinyu, dan membangun muara persepsi kepada semua pihak untuk membangun cita-cita bersama.
Apabila di era Orde Baru ia hanya mampu membangun dan masuk jaringan dari kelompok kecil lalu bergerak ke organisasi sosial yang lebih formal dan terorganisir dengan berjuang di luar parlemen, maka di era Reformasi Gogon tampil dalam arena organisasi massa yang lebih luas jangkauannya, yaitu Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) yang diketuainya;
Membangun Wadah Perjuangan: KMJ, KISDI dan GPMI
Berdakwah di lapisan bawah (grass roots) bukan perkara yang mudah, apalagi dakwah yang disampaikannya "beraroma" kesadaran politik dan bersikap kritis dengan keadaan yang dihadapi umat di negeri ini.
Era 1980-an merupakan era yang penuh getir dan risiko bagi seorang dai seperti Sumargono. Ia harus siap menghadapi rasa keterasingan (alienasi), karena apa yang disampaikan, sekalipun dengan jujur dan tulus ikhlas, bila masuk wilayah politik dapat terkena "pinalti" dari pihak keamanan dengan berbagai tudingan. Ini dialaminya ketika masuk ke "penjara" karena tudingan sebagai aktivis DI/TII.
Celakanya pada masa itu, orang yang masuk dan keluar dari penjara karena persoalan politik akan mengalami alienasi sosial, karena orang akan ragu, segan untuk mendekat, khawatir terbawa-bawa akibatnya.
a. Korps Mubalig Jakarta (KMJ). Gogon bergabung dengan Korps Mubalig Jakarta (KMJ), sebuah lembaga yang menghimpun para mubalig di Jakarta, pada tahun 1980-an selepas dari tahanan. Korps Mubalig Jakarta lahir sebagai kepedulian para dai untuk memperkuat barisan guna menghadapi berbagai isu dan tantangan dalam dunia dakwah.
Mulanya KMJ dipimpin oleh KH. Dalali Umar, namun karena terjadi kemelut, maka kepemimpinan dipercayakan kepada Sumargono. Organisasi ini sampai sekarang tetap berdiri dan terus berkembang.
b. Komite Solidaritas Indonesia untuk Dunia Islam (KISDI). Nama KISDI tidak asing di kalangan aktivis dan pengamat sosial politik dan keagamaan, khususnya di kalangan umat Islam. Sejak kelahiran organisasi ini pada tahun 1986, nama Ahmad Sumargono seakan identik dengan lembaga tersebut.
Komite ini sebenarnya digagas oleh tokoh senior Masyumi yang disegani yaitu DR. Mohammad Natsir (almarhum) dan sejumlah tokoh lainnya seperti Hussein Umar, Jami'at Jufri, Zaqi dan Kholil Ridwan (Ketua MUI sekarang, red).
Mulanya wadah ini didirikan oleh berbagai kalangan umat untuk merespons dan membangun solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina. Anggotanya terdiri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Korps Mubalig Jakarta (KMJ), Al-Irsyad dan sebagainya. Gogon sendiri diberi kepercayaan sebagai Ketua Harian KISDI.
Melihat namanya, KISDI seyogianya lebih berorientasi pada kasus-kasus internasional, akan tetapi dalam prakteknya, lembaga ini lebih banyak menggugat masalah domestik: kasus jilbab, perjudian, miras, makanan haram, masalah kristenisasi, sekulerisasi dan Aliran Kepercayaan.
Dalam perkembangannya KISDI juga melakukan social action terhadap berbagai peristiwa yang diderita umat Islam di berbagai belahan dunia: penderitaan rakyat Palestina di kamp-kamp pengungsian, Umat Islam di Kashmir, Filipina Selatan, Afghanistan, Bosnia-Herzegovina, Kosovo dan lainnya. Sebaliknya KISDI sangat getol melakukan pengutukan terhadap tindakan biadab Israel dan sikap Amerika Serikat yang ?bermusuhan? terhadap perjuangan umat Islam.
Ini dilakukan dengan aksi protes melalui demo dan unjuk rasa. Selain itu aksi yang bernuansa politis (political action) juga dilakukan, misalnya protes dalam persoalan persepsi yang salah atas berbagai kerusuhan di tanah air -- Tasikmalaya, Kupang, Ambon sampai ke Poso; juga perjuangannya yang penuh komitmen yang menuntut penerapan syariat Islam. Sikap Gogon sebagai "komandan" KISDI yang tanpa tedeng aling-aling ini memang membuat dia sering dicurigai.
Karena protesnya terhadap berbagai pihak, mulai dari majalah Jakarta-Jakarta, harian Kompas, dan CSIS, tidaklah mengherankan jika Gogon dan KISDI dianggap oleh banyak pihak sebagai kelompok yang garang. "Kami bergerak karena kepentingan umat Islam terancam," ucap Gogon sebagai Wakil Ketua KISDI.
Sementara itu, Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI). Wadah ini lahir di tengah-tengah suasana eforia sosial dan politik bangsa Indonesia di masa Reformasi, tepatnya pada bulan Syawal tahun 2000.
Gogon sebagai tokoh utama penggagas ini mendapatkan dukungan yang sangat luas dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Lahirnya wadah ini dilatarbelakangi oleh suasana eforia bangsa yang berimbas kepada umat Islam.
Berdirinya partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang demikian banyak, ditambah adanya "ketegangan" politik antara kalangan Nasionalis Islam dengan Nasionalis sekuler yang basis pendukungnya juga sama-sama umat Islam, mendorong untuk berdirinya wadah Islam yang dapat mencairkan situasi itu.
Lebih dari itu kelahiran GPMI diharapkan mampu menjadi "jembatan emas" untuk merajut silaturahmi di antara berbagai lapisan elit Islam yang beredar di berbagai organisasi dan partai. Hal lainnya adalah perlunya wadah yang dapat memberikan perhatian secara lebih holistik menyangkut problematika umat dan bangsa dan itu hanya dapat dilakukan bila segenap potensi umat dapat "duduk" bersama dan membicarakannya dengan nuansa persaudaraan.
Ketika GPMI dideklarasikan, sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang aktivitas turut hadir: mulai dari kalangan ulama, partisan, wartawan, artis, cendekiawan kampus, pemuda, sampai kalangan massa.
Dalam suasana silaturahmi yang diadakan di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, tersedia acara-acara penting selain deklarasi itu sendiri. Sambutan disampaikan H. Ahmad Sumagono, SE selaku Ketua Umum GPMI. Ia menjelaskan panjang lebar mengenai latar belakang, maksud dan tujuan berdirinya organisasi GPMI, yang saat ini telah ada sejumlah perwakilan di tingkat Wilayah dan Cabang.
Puncak acaranya adalah pembacaan "Pernyataan Keprihatinan" GPMI terhadap berbagai perkembangan nasional yang terjadi, ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal GPMI. Hadir dalam acara itu antara lain dari kalangan Partai maupun militer.
Pengurus besar GPMI telah melakukan rapat kerja yang dilakukan di Cisarua Bogor dengan hasil, dirumuskannya AD/ART, Pedoman Kerja Organisasi dan Struktur Organisasi yang telah disetujui dalam rapat pleno.
Sebagai organisasi yang bergerak pada aktivitas sosial, GPMI sangat peduli memberikan bantuan dan santunan akibat korban banjir, kebakaran, gempa bumi, serta pembagian hewan qurban bagi para dhuafa. Dalam membangun wacana, maka GPMI telah melakukan sejumlah diskusi, pelatihan bagi para pemuda yang putus sekolah, sampai kepada menghadirkan pembicara yang profesional di bidangnya, dan melakukan aksi kritis untuk peduli terhadap aspirasi publik dengan melakukan tablig akbar.
Hal lain adalah melakukan kunjungan ke sejumlah tokoh dan ulama untuk menguatkan tali silaturahmi, di antaranya menjadi tamu kehormatan Wakil Presiden Hamzah Haz di kantor dinasnya.
Menuju Ukhuwah Politik
Islam dan dunia politik merupakan dua sisi dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam bukan "agama" yang hanya memberikan petunjuk mengenai keyakinan akan keberadaan Tuhan dan bagaimana ritualitas itu harus dilakukan (yang bersifat ubudiah). Sebaliknya, Islam merupakan din, suatu petunjuk yang memberikan bimbingan atau guidance mengenai bagaimana manusia itu dapat beriman dengan baik dan benar, sekaligus beramal shaleh.
Lapangan amal shaleh itu dalam prinsipnya sangatlah luas. Dalam Alquran sangat banyak ayat yang menyuruh manusia dan orang beriman untuk berpikir, merenung dan memikirkan kejadian alam, penciptaan dan bagaimana mengambil pelajaran terhadap kejadian-peristiwa masa lalu, termasuk gambaran suatu kaum, bangsa, pemimpin yang zalim, fasik dan pemimpin yang alim, dan hikmah.
Alquran juga memberikan penjelasan yang tegas dan nyata mengenai untuk apa Rasul diutus dan mengapa Islam dikatakan sebagai ajaran yang sempurna, sebagai ajaran untuk semua zaman.
Relevansinya. Spirit Islam tentang manusia adalah bahwa manusia diciptakan dari yang satu, dan sesama manusia itu adalah saudara, karena itu konsep ukhuwah atau persaudaraan menjadi penting sebagai seorang mukmin. (Pz/SumberAhmad Sumargono, Dai & Aktifis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat)
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA -BERITA PILIHAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger