Bismar mensyukuri perjalanan hidup, tidak tamat SD dan SMP, tetapi menyandang gelar yang cukup bergengsi di bidang hukum. Dia besar di kalangan keluarga miskin, tetapi bisa menduduki posisi cukup tinggi di bidang hukum. Dia anak desa dan lama hidup di desa, tetapi bisa melanglang buana. Bismar bahagia sebagai muslim dan orang Batak, karena menyandang marga Siregar. Bismar bahagia karena pernah menjadi hakim.
Bismar merekam memori kehidupan di masa kecil dan
mudanya di kampung di dalam sebuah buku, diberinya judul: Aku Anak Petani. Bahkan, Bismar tak malu menyebut dirinya lahir dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Perjalanan hidup Bismar Siregar kecil yang lahir di Desa Baringin, Sipirok, Tapanuli Selatan, 15 September 1928, terbelenggu oleh kemiskinan. Ayahnya, Aminuddin Raja Baringin Siregar seorang guru sekolah rakyat (SR) desa.
Sedangkan ibunya, Siti Fatimah, seorang ibu rumah tangga biasa yang harus membesarkan 13 orang anak. Karena itu, Bismar menghabiskan masa mudanya di Mandailing, Sumatra Utara, membantu ayahnya yang merangkap jadi petani. Mandailing adalah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang tidak pernah diduduki oleh Belanda. Kenyataan ini, sikap anti penjajah menempa jiwa dan semangatnya menjadi seorang republiken.
Bahkan, Bismar tak malu menyebut dirinya lahir dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ayahnya mewariskan catatan bahwa keluarganya pernah makan nasi hanya sekali sehari ditambah ubi rebus malam hari. Sewaktu membaca catatan tersebut, Bismar merenung sejenak, dan menemukan jatidirinya. Tuhan seakan berkata kepadanya: “Tidak percuma engkau bisa membaca catatan ayahmu supaya engkau lebih merasakan bahwa sejak usia enam bulan engkau sudah bernasib sepedih itu. Adakah engkau mengenal sekitarmu? Sungguh banyak orang sekarang ini yang lebih parah daripada hidupmu dahulu. Kalau dulu masih makan nasi sekali, ubi sekali, sekarang, nasi tidak bisa dimakan saban hari. Adakah engkau tidak merasakan yang sedemikin itu?”
Semiskin apapun perjalanan hidupnya dahulu, sampai tidak bisa menamatkan sekolah rakyat (HIS), Bismar tetap menyukurinya. Dia tidak mampu masuk sekolah lanjutan pertama, meskipun teman-temannya sudah masuk SMP, lantaran keluarganya sangat miskin. Maka dia bertahan menjadi anak desa yang tidak mengenyam bangku sekolah lanjutan. Bismar bukan sembarang anak desa. Tetapi anak desa yang membuka hutan untuk dijadikan sawah. Bersama orangtuanya, Bismar tidur di tengah persawahan, mendengarkan nyanyian jangkrik. Dia merasakan nikmat sekali. Sampai sekarang pun Bismar masih merasakannya, dan menangis di saat mengenangnya.
Keluarga Bismar memetik hikmahnya. Berjuang keras di jalan kehidupan seperti itu namun tidak sesulit sekarang untuk mencari makan. Bismar merekam memori kehidupan di masa kecil dan mudanya di kampung di dalam sebuah buku, diberinya judul: Aku Anak Petani.
Kenapa Bismar terdorong menulisnya dalam bentuk buku? Karena dia melihat perlakuan dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani. Harga gabah dipatok sedemikian rendah, sementara harga pupuk dipatok sedemikian tinggi. Petani ribut dan demo, masa bodoh. Semua mengatakan, “itu bukan urusanku.”
Tulis Bismar dalam bukunya yang juga diulangi dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia: “Mungkin saja mereka merasa bukan anak petani. Mereka telah berbohong terhadap diri mereka sendiri. Kalau bukan ayahnya yang petani, kakeknya yang petani.” Namun Bismar, bukan hanya ayah atau kakeknya yang petani, dia sendiri petani. Dia merasakan dan menikmati menjadi seorang petani. Ketika berada di tengah sawah, kehujanan dan kepanasan, dia merasa senang dan bahagia menunggu sampai panen selesai. Bismar merasakan nikmatnya melihat padi yang tumbuh, kemudian mulai boltok (istilah di Tapanuli) berbuah. Hidup di kampung, memiliki hasil panen cukup untuk makan setahun sudah bersyukur. Itu waktu dulu. Tapi sekarang tidak berlaku lagi. Karena lahan-lahan sudah dibagi kepada para ahli waris. Sawah terbagi-bagi semakin sempit.
Bismar mempertanyakan: “Salahkah kalau anak-anak desa harus meninggalkan kampung mereka untuk mencari nafkah di kota?” Pertanyaan ini dijawabnya dengan kenyataan, misalnya, warga Siborong-borong yang meninggalkan desa mereka karena memang tidak bisa lagi hidup di situ. Harga hasil pertanian tidak dapat lagi diandalkan. Bismar masih bertanya, “kenapa pemerintah tidak memikirkan nasib petani?”. Kalau petani diperhatikan, mereka tidak datang ke kota, menjadi supir bus, pedagang asongan atau pedagang kali lima yang sering menimbulkan masalah. Mereka dikejar-kejar aparat Trantib, seterusnya untuk diperas dan diperas lagi.
“Karena itu makmurkan para petani,” kata Bismar. Kapankah Indonesia memberikan kedudukan terhormat kepada para petani, dari mana kebanyakan petinggi negara berasal? Kata Bismar, pengabaian dan kesalahan kepada para petani perlu diakhiri, supaya semua orang cinta pada pertanian. Dulu Bismar bangga membawakan makanan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. Sekarang, katanya, mana lagi ada anak yang mau begitu. Secara tidak sadar tatanan yang diwariskan nenek moyang telah dirusak sendiri.
Karena itu, Bismar kembali mengetok pintu hati nurani mereka yang diberikan amanah jabatan oleh Yang Maha Kuasa. Ingatlah, amanah dan jabatan itu sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Setiap orang tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban. Kepada SBY pun, sewaktu Pilpres, Bismar bilang, “engkau imam yang harus bertanggungjawab terhadap lingkunganmu.” SBY sekarang menjadi imam untuk bangsa ini.
Pendidikan
Perjalanan pendidikan Bismar tergolong unik. Tahun 1942, ketika Bismar akan menempuh ujian sekolah dasar di kelas tujuh HIS (Hollands Inlandsche School), Jepang masuk. Kekacauan yang timbul karena gejolak pergantian penjajah, membuat Bismar tidak menempuh ujian akhir, dan pendidikannya praktis terhenti. Bismar muda hidup di kampung selama delapan tahun tanpa duduk di bangku sekolah. Tahun 1950, dia merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Ironis. Bismar yang tidak tamat sekolah dasar, malah dibawa abangnya ke Magelang untuk melanjutkan sekolah di SMA Pejuang, sebuah sekolah lanjutan khusus bagi para pejuang kemerdekaan.
Bismar seperti memakan buah simalakama. Mau masuk SMA, ijazah SD pun tidak punya, mau duduk di bangku SMP usianya sudah kadaluwarsa. Berkat bujukan si abang, Bismar memberanikan diri untuk mendaftar ke SMA Pejuang. Caranya, dia mengubah tanggal kelahirannya dari 15 September 1928 menjadi 15 November 1930. Sampai sekarang yang tercantum di ijazahnya, tanggal kelahiran terakhir.
Setelah masuk SMA, Bismar menghadapi kendala lain. Dia sangat takut pada mata pelajaran Aljabar, sebab mata pelajaran itu tidak pernah dia pelajari sebelumnya. Bayangkan, dia harus bersaing dengan kawan-kawannya yang sudah biasa mendapat mata pelajaran Aljabar. Bismar benar-benar mengalami kesulitan. Beruntung, hasil ujian akhir Bismar untuk mata pelajaran tersebut adalah nilai 5. “Tapi tidak jadi masalah karena itulah kekurangan saya,” kenang Bismar.
Soal perbedaan versi tanggal kelahiranya pernah menjadi perdebatan media massa ibukota sewaktu Bismar menduduki posisi hakim agung. Ada yang memberita-kan, mestinya Bismar sudah pensiun. Namun Bismar tidak pernah gentar meskipun memiliki dua tanggal kelahiran yang berbe-da, apalagi alasannya cukup logis.
Bismar menamatkan SMA di Bandung tahun 1952. Kemudian melanjutkan studi di Fakultas Hukum UI Jakarta. Bismar meraih gelar sarjana hukum dalam tempo 4 tahun. “Ini sesuai dengan amanat orang tua saya,” kata Bismar. Memang sejak kanak-kanak, ayahnya selalu mengharapkan Bismar menjadi Meester in de Rechten (Mr). Dalam hidup Bismar Itulah saat-saat yang paling membanggakan dan membahagiakan.
Perihal memperdalam ilmu hukum, Bismar tidak berhenti sampai di situ. Kehausan menuntut ilmu dilanjutkannya dengan menempuh pendidikan di luar negeri, antara lain, di Unversity of Nevada (1973), University of Alabama, Tooscaloosa (1973), University of Texas di Dallas (1979), dan Rijks-Universiteit di Utrecht (1990).
Dalam usianya yang beranjak tua, Bismar merasa sedih karena saat ini tidak bisa berbuat, hanya bisa menyaksikan penderitaan yang dialami rakyat. Yang bisa dilakukannya, hanya menulis, menulis dan terus menulis. Namun, di dalam hidupnya sampai saat ini, Bismar tidak pernah berhenti membaca dan menulis. Bismar meneladani apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: “Tinta seorang pandai lebih suci daripada darah seorang syuhada.’’ Menjalani hari-hari tuanya, Bismar mengekspresikan keahlian melukis di rumahnya yang luas di Cilandak, Jakarta. Juga dia tidak lupa berenang dan jogging (jalan) pagi setiap hari.
sumber : http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/bismar-siregar/biografi/03.shtml
Home »
Tokoh Muslim
» Kisah Mantan Hakim Agung Bismar Siregar ,Kemiskinan bukan Penghalang untuk menuntut Ilmu
Kisah Mantan Hakim Agung Bismar Siregar ,Kemiskinan bukan Penghalang untuk menuntut Ilmu
Written By admin on Thursday, April 19, 2012 | 12:30 AM
Labels:
Tokoh Muslim
Post a Comment