Home » » 1,1 Juta Muslim Italia Ingin Didengar

1,1 Juta Muslim Italia Ingin Didengar

Written By admin on Wednesday, March 11, 2009 | 12:31 AM

1,1 Juta Muslim Italia Ingin Didengar

Muslim merayakan Ramadan di Roma

Salah satu sisi jalan kusam area kelas pekerja Milan, satu konstruksi bangunan menaungi sebuah masjid konservatif yang dulu dikaitkan dengan teroris Islam.

Sementara di sisi lain, sebuah bangunan kantor menjadi tempat kantor media yang tengah berkembang "Yalla Italia (Let's Go, Italy), majalah bulanan ditulis oleh 2G.--julukan setempat untuk generasi kedua imigran--bagi pemuda Muslim yang tengah mencari dan mempertahankan identitas dan juga bagi warga asli Italia yang ingin tahu terhadap agama yang diterima 20 tahun lalu di negara tersebut.

Dua bangunan tersebut menyimbolkan dua dunia berbeda di Muslim Italia, komunitas yang semakin cepat bekembang hingga mencapai 1 juta populasi dan menuntut untuk didengar.

"Kami terpisah sepuluh meter, tapi secara budaya kami terpisah berabad-abad," ujar Martino Pilitteri, pimpinan redaksi majalah. Dalam mikrokosmis Milan, Pilitteri melihat--apa yang ia yakini--gesekan budaya tengah berlangsung di komunitas Muslim Italia. "Satu visi mengajak melongok masa lalu, dan yang lain mengajak menuju masa depan," ujar Pilitteri

Pada satu meja konferensi, satu grup terdiri sekitar 20 orang berkumpul untuk pertemuan mingguan. Mayoritas perempuan, beberapa mengenakan jilbab, dan hampir semua mencuri waktu beberapa jam dari kuliah di universitas atau jam kerjanya. Beberapa datang ke Italia sebagai anak-anak, yang lain lahir di sini dari pernikahan campuran, dan ada pula yang datang untuk belajar dan tinggal karena alasan cinta. Mereka ialah sekaligus, orang Italia, Eropa, dan Muslim.

"Yalla Italia" sendiri dipandang jendela dari kehidupan mereka, meliput isu dan perhatian seputar kehidupan Muslim sehari-hari di wajah masyarakat non-Muslim. Rassmea Salah, 25 tahun campuran Italia-Mesir terlihat terserap didepan laman sebuah blog dalam situs online Vita, majalah nonprofit yang mengisi halaman-delapan "Yalla Italia" sebulan sekali. Isu yang biasa dibawa seputar: "mengenakan atau tidak mengenakan burkini? Bagaimana perpaduan terbaik antara kaftan dan jins. Makan babi atau halal? Sholat lima kali sehari atau tergantung personalisasi?

"Generasi kedua para imigran merupakan sumber daya besar karena mereka hidup di tengah, dan dapat menggapai dua budaya," ujar Luca Visconti, profesor di Universitas Bocconi, Milan yang tahun ini menerbitkan studi marketing lintas-generasi fokus terhadap generasi kedua imigran di Italia. "Mereka merupakan sumber daya kritis yang harus diinvestasi," ujarnya.

Pesan positif yang dikirim oleh "Yalla Italia" juga berfungsi sebagai antidot bagi laporan sensasional dari media arus besar Italia yang cenderung melebihkan dan mengobarkan stereotip negatif, bahkan penolakan terhadap imigrasi Islam.

Ketika ratusan Muslim di beberapa kota Italia memprotes perang yang baru saja terjadi di Gaza dengan melakukan sholat di depan katedral dan monument, sebuah surat kabar konservatif II Giornale mengingatkan adanya "pendudukan". Beppe Pisanu, mantan menteri dalam negeri dari Partai Kebebasan Rakyat, partai Silvio Berlusconi, mengatakan aksi tersebut adalah "operasi fundamentalis dan awal tindakan terorisme," demikian yang pernah dikutip oleh kantor berita ANSA

Sementara menteri dalam negeri saat ini, Roberto Maroni dari Partai Liga Utara yang anti-imigran, mengekspresikan perhatian terhadap "gup imigran radikal generasi kedua", seraya mengingatkan Italia beresiko mengalami "situasi seperti Parisian banlieues," kawasan suburb padat populasi imigran di ibu kota Perancis yang rusuh pada 2005.

Sementara para anggota salah satu kamar dalam parlemen, Gianfranco Fini mengimbau para imam di Italia menggunakan bahasa Italia sebagai pengantar dalam kotbah dan komentar keagamaan.

"Islam mengandung banyak hal berbeda--bukanlah monolitik--dan "Yalla Italia" memungkinkan banyak realitas untuk dikenal," ujar Rufaida Hamid, 20 tahun yang pindah ke Italia pada 2001 dari Kashmir untuk belajar farmasi. "Saya sendiri ingin menjadi bagian masa depan Italia. Saya tidak ingin terisolasi," imbuhnya.

Bila dibanding dengan negara-negara Eropa lain, imigran Italia relatif pendatang baru, dan negara tersebut masih berjuang untuk menyesuaikan dengan populasi asing yang makin berkembang. Jika model Perancis, imigran berintegrasi melalui perilaku warganegara, dan di Inggris mengadopsi multikulturalisme dengan hasil majemuk, Italia masih terlihat tak mampu memutuskan bentuk paling sesuai.

Kebijakan pemerintah cenderung menyokong represif ketimbang integrasi. Setelah Senat Italia meloloskan undang-undang yang memperketat kebijakan imigrasi bulan lalu, "Familia Cristiana" salah satu majalah Katholik Roma berpengaruh menuduh Italia mencemplungkan diri dalam "samudera aturan berbau rasis", tak beda dengan serangkaian aturan anti-Semit yang diloloskan pada pemerintah 1938 silam.

"Italia tidak memilih model spesifik dan juga bagamana negara ini menghadapi Islam," ujar Farian Sabahi, seorang guru besar sejarah negara islam di Universitas Turin dan editor untuk Milan daily Corriere della Sera, yang juga menulis buku Muslims di Eropa. "Hal ini masih bukan prioritas utama pemerintah, dan itu sangat memalukan karena berlawanan dengan apa yang coba dilakukan negara Eropa lain," imbuhnya

"Muslim dianggap menakutkan bagi Italia karena kebanyakan adalah orang miskin," ujar Sabahi. "Ada tanda-tanda menampakkan Muslim dianggap teroris seperti halnya imigran Rumania sebagai potensi pemerkosa, karena dalam beberapa kasus pemerkosaan, selalu melibatkan mereka di Italia dalam minggu terakhir," ujar wanita tersebut.

Ia meragukan jika Italia akan melihat muslim seperti mereka yang melakukan kerusuhan di wilayah suburb Perancis, namun ia berpikir sangat kritis untuk mencegah area potensial ketidakpuasan dengan mengijinkan Muslim membangu masjid. Di beberapa kota Italia, khususnya di utara, politisi telah mengeksploitasi sentimen anti-imigran untuk menghadang pembangunanan tempat ibadah baru.

Imigran generasi kedua--yang berjumlah sekitar 700 ribu di Italia--dapat menjadi elemen integrasi vital, ujar Lubna Ammoune, 20 tahun yang lahir di Milan namun asli Syiria. "Saya lebih suka memandang kami sebagai jembatan," ujar Ammoune yang juga ngeblok di "Yalla Italia"" dan di versi online harian La Stampa, Turin.

"Yalla Italia" yang pertama terbit pada Mei 2007, berharap dapat menunjukkan warga Italia realitas konstruktif yang tidak mereka harapakan," ujar Quejdane Mejri, 32 tahun, datang dari Tunisia untuk belajar di negeri tersebut. "Imigran bukan hanya orang yang mengarungi laut di pantai. Kami juga membayar pajak, berpartisipasi dalam masyarakat, berusaha berintegrasi," ujar lelaki yang kini mengajar di Jurusan Teknologi Informasi, Politektnik Milan.

"Kami pun masa depan Italia, dan kami ingin menjadi tokoh protagonis di masa depan," ujarnya./itz


sumber: Internasional Herarld Tribune

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA -BERITA PILIHAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger